Minggu, 25 Agustus 2013

Sedih atau Senang?

Saya selalu berpikiran "what you want is not always what you need." Jujur saja, saya tipikal orang yang lebih memilih segala sesuatu yang saya butuhkan ketimbang memenuhi hasrat keinginan sesaat. I mean, kadang-kadang kita hanya terjebak pada kondisi dimana keinginan itu mengalahkan kebutuhan. Dan saya tidak mau terjebak di dalamnya.
Tapi kali ini lain. Saya terjebak di dalam situasi "what you want and what you need is no longer what you really want." Oke langsung saja ke pokok permasalahan.
Saya adalah anak yang dibesarkan dengan didikan mandiri. Sejak kelas 1 SMP hingga sekarang kuliah semester 2, berangkat dan pulang sekolah selalu naik angkutan umum. Pada awalnya saya merasa kesal karena semakin bertambahnya tingkatan pendidikan, semakin saya menemui teman-teman yang sudah memiliki motor/kendaraan sendiri. Saya merasa seperti teraniaya 'hidup' di jalanan setiap hari. Naik dari satu angkot ke bis yang lain. Belum lagi berjibaku dengan asap kendaraan yang ada di jalanan dan pengapnya bis.
Waktu dan mood saya menguap di jalanan. Copet adalah musuh utama para pengguna angkot.
Kini, beranjak ke semester 3, ayah saya memutuskan untuk  membelikan saya sebuah mobil. Dengan pertimbangan supaya saya bisa lebih mudah dalam beraktivitas (kegiatan kampus yang sudah lumayan banyak) dan beliau sudah gampang capek. Jadi, jika suatu saat ada kegiatan yang mengharuskan saya pulang malam, beliau tidak perlu lagi menjemput saya.
Hal ini tentu menggembirakan bagi saya. Pada awalnya. Inilah saat yang paling saya tunggu. Memiliki kendaraan sendiri, bebas kemana saja, menghemat waktu, dsb.
Tapi kini saya mulai berpikir ulang.
Memang, semuanya akan lebih cepat dan efisien. Dan tentunya tidak lagi merepotkan banyak pihak jika saya sudah berkendara sendiri. Tapi, hey.... Ada berbagai hikmah dan kesedihan jika saya sudah tidak lagi menjadi 'angkoters'.
Yang pertama, tujuh tahun saya mengelana menjadi angkoters, tentu saya sudah mengalami berbagai pengalaman yang secara tidak sadar ternyata menarik dan tidak akan dirasakan oleh para pengguna kendaraan pribadi. Saya bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai latar belakang setiap hari. Bahkan terkadang bisa menjadi satu ajang silaturahmi karena ada saja yang mengajak ngobrol selama di bis. Ada hikmah besar disini. Yang akhirnya membuat saya bersyukur karena ayah saya dulu menyuruh saya naik angkot sejak remaja. Hikmah itu adalah saya bisa belajar bertoleransi dengan orang banyak. Saya bisa berinteraksi dan bertukar pikiran mengenai hal-hal yang sedang terjadi saat itu dengan orang lain. Dengan begitu saya jadi tahu, apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan masayarakat yang paling nyata. Bukan lewat koran. Bukan lewat TV ataupun radio. Tapi saya mengamati sendiri.
Kedua, waktu itu saya masih kelas 1 SMP dan sedang ujian sekolah. Singkatnya, saya kecopetan handphone. Tentu pada waktu itu saya menangis. Menangis untuk 2 hal. Pertama dan yang paling utama adalah karena saya tidak mendengarkan nasihat ayah saya untuk tidak membawa handphone selama ujian berlangsung. Kedua, saya menyesal tidak menjaganya dengan baik sehingga saya tidak bisa lagi gaul dengan teman-teman lainnya yang sudah memiliki handphone canggih. Apa hikmah di balik itu? Saya jadi tahu, bagaimana gerak-gerik pencopet, apa saja kemungkinan cara yang mereka lakukan ketika mencopet, dan bagaimana cara memproteksi diri dari pencopet. Semenjak itu, saya menjadi orang yang selalu waspada. Entah di dalam angkot atau di kehidupan saya. Waspada bukan berarti selalu berpikiran buruk, tapi lebih kepada menjadi mawas terhadap lingkungan sekitar.
Ketiga, menghargai waktu. Saya sampai sekarang masih heran dengan mereka yang setiap hari menggunakan kendaraan pribadi yang seharusnya menjadikan mereka bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan, namun malah sering sekali tidak tepat waktu. Sangat menyepelekan waktu. Kenapa mereka justru kalah dengan saya yang setiap hari harus mengestimasikan waktu satu jam untuk perjalanan naik angkot dan saya tidak pernah terlambat ke tempat tujuan? Bukan bermaksud apapun, tapi dengan begini, saja jadi mengerti tentang betapa berharganya waktu. Saya menjadi pribadi yang selalu takut untuk terlambat. Saya tahu rasanya kecewa karena terlalu lama menunggu seseorang yang menyepelekan waktu. 
Keempat, saya jadi bisa mendayagunakan alat transportasi umum dan tidak menjadi manja dengan kendaraan pribadi. Saya terkadang malu dengan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang dengan gampangnya membeli motor dengan alasan untuk pergi-pulang ke sekolah/kampus yang akibatnya bisa diduga, memenuhi jalanan dan membuat macet. Bandingkan dengan remaja-remaja negara lain yang tidak gampang merengek kepada orang tuanya dan lebih memilih pergi ke sekolah menggunakan alat transportasi umum dan kemudian berinteraksi dengan pelajar lain di dalamnya.

Itulah beberapa alasan kuat saya, mengapa menjadi angkoters itu menyenangkan dan tidak semenyedihkan yang orang-orang pikirkan. Malah bisa dipertimbangkan, mana yang lebih menyedihkan dibanding angkoters.

Sekarang, tiba saatnya menjadi pengguna kendaraan pribadi. Sebentar lagi. Dan memang sudah seharusnya begini. Cepat atau lambat, sayapun juga harus menjadi anak yang bisa meringankan beban orang tua..


0 komentar:

Posting Komentar