Suasana di sebuah gedung pada malam itu terasa mewah dan
temaram. Para tetamu undangan sudah lalu lalang mengambil makanan sejak dua jam
yang lalu. Gelas dan piring sibuk beradu hingga menghasilkan suara nyaring.
Para pria terlihat mengenakan setelan jas necis dan dasi kupu-kupu di leher.
Belum lah terlihat wanitanya, yang datang dengan gaun termanisnya dan riasan
wajah juga rambut yang elegan.
Tapi lihatlah, semuanya tak ada banding dengan sepasang
pengantin pria dan wanita yang sedang berdiri santun menyalami para tamu, sibuk
mengucapkan “terima kasih” kepada setiap “selamat menempuh hidup baru”.
Tak ada yang memperhatikan. Sungguh tak ada. ternyata sang
pengantin wanita justru sedang terlihat resah menanti seseorang dalam ruangan
itu. Dua jam berlalu, belum juga terlihat tanda-tanda sahabat karibnya datang.
Reno. Hanya nama itu yang sedari tadi gadis itu lafalkan. Hatinya terus
bertanya sepanjang acara.
***
Surat lusuh itu tergeletak begitu saja di lantai rumah
sakit. Tentang kebenaran. Tentang jawaban atas pertanyaan yang terus berputar
sepanjang acara pernikahan berlangsung.
Sepuluh tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk menanam sebuah cinta yang telah menampakkan benihnya sejak pertama kali bertemu. Hingga detik ini cinta itu kian tumbuh bak pohon beringin. Mengurat akar di hati dan pikiranku. Meski beringin itu tak pernah terlihat oleh siapapun kecuali pemiliknya sendiri. Meski begitu, aku tetap berusaha mencari celah untuk mengatakan tentang beringin itu kepadamu, sahabatku. Bagaimanalah mungkin aku tak pernah punya niatan untuk memberitahumu selama sepuluh tahun ini?
Tapi langit selalu punya cara
untuk mengingatkan seorang pengecut sepertiku. Hingga datanglah dia, Radit yang
dengan teganya merebutmu dariku. Aku tak berdaya, hingga semuanya menjadi salah
di mataku. Padahal ini semua hanya bermuara pada satu permasalahan.
Kepengecutanku. ………
Demi melihat kebeneran sebenderang ini, wanita itu seperti kehilangan gravitasinya. Tubuhnya seketika sempoyongan menatap tembok di sampingnya. Hingga seorang suster memanggilnya.
“Ibu Desi?”
Sebulir air tiba-tiba jatuh dari ujung matanya. Ia tahu
persis siapa yang menulis surat tersebut. Ia tahu persis tulisan tangan
sahabatnya yang sudah bersamanya selama sepuluh tahun lebih.
“Disini ruangannya.. saya tinggal dulu ya”
Wanita itu tak menjawab. Matanya terburu-buru menatap
pemandangan menyedihkan itu.
“Hai Reno. Apa kabar? Aku kangen sama kamu.. kamu.. udah
makan?” Dia mencoba menyapa lelaki yang tergeletak lemah, meski tatapannya terasa amat kosong.
Tangan dan kaki diikat di pinggir ranjang.
“Kamu tau nggak? Semenjak malam pernikahanku, aku mencarimu.
Aku sebal sekali kau tak datang..” buliran air di matanya mulai menderas.
“Kamu makin kurus ya. Ah, biasanya kamu yang paling banyak
makan. Kenapa disini jadi makin kurus. Payah!” sekarang wanita itu mencoba tersenyum
walau getir.
“AAARRRGGHHHH..”, entah apa yang terjadi, seketika bola mata
lelaki itu berputar ke arah wanita yang dicintainya, kemudian berteriak rusuh
memecah kesunyian.
“AAARRRGGGHHHHH”.
Pedih rasanya melihat pemandangan yang menyesakkan ini. Wanita
itu memutuskan keluar dari Rumah Sakit ini secepatnya. Rumah Sakit Jiwa yang
sudah tega memenjarakkan Reno selama setahun belakangan ini…..
0 komentar:
Posting Komentar