Selasa, 27 Agustus 2013

Waktu Selalu Tega (ff)

Cuma kadang-kadang, kau tak sadar, waktu terus berjalan. Tanpa ampun. Waktu begitu tega tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada mereka yang terlambat datang. Hanya karena mencari sedikit celah kesenangan semu yang ditawarkan.

Berjanjilah padaku untuk selamanya tidak menengok ke belakang, mencari sesuatu yang sejatinya sudah terlalu lelah mengejarmu, tapi kau tak kunjung menoleh. Waktu selalu tega.

Berjanjilah padaku untuk selamanya menatap ke depan. Melukis dengan senyata-nyatanya, bagian keindahan yang selama ini kau cari. Yang membuatmu tak juga menoleh. Waktu selalu tega.

Berjanjilah. Karena suatu hari akan datang saat dimana kau mulai berputus asa melukisnya. Bosan mendendang lagu riang di saat kau mencoba melukisnya. Hingga tak sengaja kau menoleh ke belakang. Merenungi setiap tapak kaki yang telah kau jejak ternyata salah. Menyadari bahwa ada yang sedang mengejarmu di belakang. Lalu kau coba-coba berhenti sejenak untuk menangkapnya. Tapi sekali lagi, waktu selalu tega. Kau, aku, dan semua orang tidak pernah diberinya kesempatan untuk berhenti bahkan kembali ke belakang. Tak pernah..

Minggu, 25 Agustus 2013

Sedih atau Senang?

Saya selalu berpikiran "what you want is not always what you need." Jujur saja, saya tipikal orang yang lebih memilih segala sesuatu yang saya butuhkan ketimbang memenuhi hasrat keinginan sesaat. I mean, kadang-kadang kita hanya terjebak pada kondisi dimana keinginan itu mengalahkan kebutuhan. Dan saya tidak mau terjebak di dalamnya.
Tapi kali ini lain. Saya terjebak di dalam situasi "what you want and what you need is no longer what you really want." Oke langsung saja ke pokok permasalahan.
Saya adalah anak yang dibesarkan dengan didikan mandiri. Sejak kelas 1 SMP hingga sekarang kuliah semester 2, berangkat dan pulang sekolah selalu naik angkutan umum. Pada awalnya saya merasa kesal karena semakin bertambahnya tingkatan pendidikan, semakin saya menemui teman-teman yang sudah memiliki motor/kendaraan sendiri. Saya merasa seperti teraniaya 'hidup' di jalanan setiap hari. Naik dari satu angkot ke bis yang lain. Belum lagi berjibaku dengan asap kendaraan yang ada di jalanan dan pengapnya bis.
Waktu dan mood saya menguap di jalanan. Copet adalah musuh utama para pengguna angkot.
Kini, beranjak ke semester 3, ayah saya memutuskan untuk  membelikan saya sebuah mobil. Dengan pertimbangan supaya saya bisa lebih mudah dalam beraktivitas (kegiatan kampus yang sudah lumayan banyak) dan beliau sudah gampang capek. Jadi, jika suatu saat ada kegiatan yang mengharuskan saya pulang malam, beliau tidak perlu lagi menjemput saya.
Hal ini tentu menggembirakan bagi saya. Pada awalnya. Inilah saat yang paling saya tunggu. Memiliki kendaraan sendiri, bebas kemana saja, menghemat waktu, dsb.
Tapi kini saya mulai berpikir ulang.
Memang, semuanya akan lebih cepat dan efisien. Dan tentunya tidak lagi merepotkan banyak pihak jika saya sudah berkendara sendiri. Tapi, hey.... Ada berbagai hikmah dan kesedihan jika saya sudah tidak lagi menjadi 'angkoters'.
Yang pertama, tujuh tahun saya mengelana menjadi angkoters, tentu saya sudah mengalami berbagai pengalaman yang secara tidak sadar ternyata menarik dan tidak akan dirasakan oleh para pengguna kendaraan pribadi. Saya bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai latar belakang setiap hari. Bahkan terkadang bisa menjadi satu ajang silaturahmi karena ada saja yang mengajak ngobrol selama di bis. Ada hikmah besar disini. Yang akhirnya membuat saya bersyukur karena ayah saya dulu menyuruh saya naik angkot sejak remaja. Hikmah itu adalah saya bisa belajar bertoleransi dengan orang banyak. Saya bisa berinteraksi dan bertukar pikiran mengenai hal-hal yang sedang terjadi saat itu dengan orang lain. Dengan begitu saya jadi tahu, apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan masayarakat yang paling nyata. Bukan lewat koran. Bukan lewat TV ataupun radio. Tapi saya mengamati sendiri.
Kedua, waktu itu saya masih kelas 1 SMP dan sedang ujian sekolah. Singkatnya, saya kecopetan handphone. Tentu pada waktu itu saya menangis. Menangis untuk 2 hal. Pertama dan yang paling utama adalah karena saya tidak mendengarkan nasihat ayah saya untuk tidak membawa handphone selama ujian berlangsung. Kedua, saya menyesal tidak menjaganya dengan baik sehingga saya tidak bisa lagi gaul dengan teman-teman lainnya yang sudah memiliki handphone canggih. Apa hikmah di balik itu? Saya jadi tahu, bagaimana gerak-gerik pencopet, apa saja kemungkinan cara yang mereka lakukan ketika mencopet, dan bagaimana cara memproteksi diri dari pencopet. Semenjak itu, saya menjadi orang yang selalu waspada. Entah di dalam angkot atau di kehidupan saya. Waspada bukan berarti selalu berpikiran buruk, tapi lebih kepada menjadi mawas terhadap lingkungan sekitar.
Ketiga, menghargai waktu. Saya sampai sekarang masih heran dengan mereka yang setiap hari menggunakan kendaraan pribadi yang seharusnya menjadikan mereka bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan, namun malah sering sekali tidak tepat waktu. Sangat menyepelekan waktu. Kenapa mereka justru kalah dengan saya yang setiap hari harus mengestimasikan waktu satu jam untuk perjalanan naik angkot dan saya tidak pernah terlambat ke tempat tujuan? Bukan bermaksud apapun, tapi dengan begini, saja jadi mengerti tentang betapa berharganya waktu. Saya menjadi pribadi yang selalu takut untuk terlambat. Saya tahu rasanya kecewa karena terlalu lama menunggu seseorang yang menyepelekan waktu. 
Keempat, saya jadi bisa mendayagunakan alat transportasi umum dan tidak menjadi manja dengan kendaraan pribadi. Saya terkadang malu dengan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang dengan gampangnya membeli motor dengan alasan untuk pergi-pulang ke sekolah/kampus yang akibatnya bisa diduga, memenuhi jalanan dan membuat macet. Bandingkan dengan remaja-remaja negara lain yang tidak gampang merengek kepada orang tuanya dan lebih memilih pergi ke sekolah menggunakan alat transportasi umum dan kemudian berinteraksi dengan pelajar lain di dalamnya.

Itulah beberapa alasan kuat saya, mengapa menjadi angkoters itu menyenangkan dan tidak semenyedihkan yang orang-orang pikirkan. Malah bisa dipertimbangkan, mana yang lebih menyedihkan dibanding angkoters.

Sekarang, tiba saatnya menjadi pengguna kendaraan pribadi. Sebentar lagi. Dan memang sudah seharusnya begini. Cepat atau lambat, sayapun juga harus menjadi anak yang bisa meringankan beban orang tua..


Selasa, 20 Agustus 2013

hanya mungkin kamu gak tau gimana rasanya kangen dengan orang yang sama sejak awal pertemuan..

aku tak tau, apakah menjadi spesial bagimu itu sudah cukup memberi jawaban bagi hatiku sendiri. sungguh, aku tak mengharapkan label apapun akan hubungan ini. aku hanya mengharapkan kejujuran. memberi ruang bagi kangenku ini pada tempatnya. memberi penjelasan mengenai perasaan itu. sesederhana itu.

Sabtu, 17 Agustus 2013

bosen

Rasanya pengen keluar dari kandang. Do backpacking. it would be very wonderful..

apalagi saat lagi galau begini. yah bukan sepenuhnya galau juga. tapi lebih kepada bosan nunggu sesuatu yang gak pernah pasti. mungkin salahku juga karna terlalu takut mencari penjelasannya.
bisa dibilang, aku sudah sampai di satu titik lelah untuk menerka arah hubungan ini. entahlah. capek.
maka dari itu aku berpikir, mungkin dengan ngegembel di jalan, menyusuri jalanan yang belum pernah aku sentuh, membuka mata lebar- lebar bahwa hidup ini tak sebatas satu lelaki itu, membuka fakta-fakta baru tentang hidup ini. kita bisa jadi hanya terjebak pada nikmatnya zona nyaman yang sudah kita rasakan sejak tangisan pertama kita keluar ke dunia ini. tapi kita lupa bahwa ada kehidupan lain yang mungkin jauh lebih mengerikan dari yang pernah kita bayangkan.
aku hanya ingin merasakan sensasi rasa penerimaan tentang hidup ini. segala bentuk penerimaan. hanya itu.

Kamis, 25 Juli 2013

Tentang segalanya

kebanyakan orang akan memilih untuk memberikan segalanya dari apa yang ia punya kepada orang yang mencintainya. tapi bagiku sepertinya tidak. aku seolah tidak sedikitpun peduli akan prinsip itu. aku lebih memilih memberikan segalanya kepada orang yang kucintai. memang batasan "segalanya" disini terlihat semu dan amat relatif. seberapa jauh kau memberikan "segalanya" itu arti kepada dirimu sendiri dan jika kemudian kau bertanya pada orang lain, maka hampir pasti, ia akan punya arti tersendiri mengenai batasan "segalanya" tersebut. intinya, tiap orang punya batasan arti masing-masing mengenai kata "segalanya".

"lalu, bagaimana jika orang yang kau cintai --dan telah kau beri segalanya itu- tidak mencintaimu?"

well, cinta itu sederhana. meskipun begitu, jika kita bicara mengenai cinta, maka akan banyak sekali hal yang semuanya bermuara pada satu aspek: sudut pandang. tiap orang akan memiliki bentuk cintanya sendiri. di setiap bentuk, pasti memiliki penjelasan, bahkan perjalanannya sendiri. maka tolonglah, jangan pernah mendikte orang lain dengan memberi label "pengertian cinta". sungguh, jika kau tidak pernah terlibat di dalamnya, maka jangan sekali-kali memberinya pengertian cinta dari sisi hidupmu. karena mungkin akan sangat berbeda dengan sisi hidupnya. biarkan orang lain memiliki bentuk dan penjelasan cintanya sendiri tanpa harus kau ikat dengan pikiran atau pendapatmu.
sudut pandang itu kemudian berjalan bersisian dengan pemahaman. seberapa jauh sudut pandangmu mengenai cinta itu yang kemudian dibungkus dengan pemahaman yang hebat, maka sungguh, kau tidak akan jauh dengan kedamaian...
sekarang, kau bertanya bagaimana jika orang yang kucintai tak mencintaiku. baiklah, mari kita luruskan ini semua.
seseorang pernah mengatakan padaku tentang perasaan. tentang jarak dan waktu yang akan mengatakan, apakah cinta itu benar-benar hidup di dalam hatimu ataukah hanya sekedar lewat dan tidak benar-benar tinggal disana. aku belajar meyakini itu.
oleh karenanya, aku juga belajar tentang bagaimana menyimpan dan mengendalikan perasaan ini, meski sungguh menggebu dan semakin menyiksa. bisakah kau bayangkan, ketika kau bangun dari tidurmu di pagi hari, yang terpikir dan terbayang pertama kali adalah wajahnya? selalu seperti itu semenjak cinta itu tumbuh memenuhi ruang hatimu. bertahun-tahun. melamun memikirkan kisah yang kau coba ukir sendirian. tapi belum juga diukir. baru kau raba saja. sendirian.
maka, aku belajar menyimpan semuanya. sejauh yang aku bisa.
aku belajar tentang arti penerimaan. sejauh yang aku mampu..

Selasa, 26 Maret 2013

kunang-kunang (ff)

hanya kadang-kadang, perasaan semacam itu bisa cepat sekali menguap. bahkan saat baru saja membiarkan orang lain mengetahuinya.

dia masih terlihat lincah memainkan tangan, kaki dan seluruh tubuhnya mengikuti irama hatinya. dia bergerak sesuka-sukanya. aku mengamatinya, walau tak terlalu terlihat oleh pemain lain kalau aku diam-diam sedang mengamatinya.
wajahnya tak rupawan, juga tak gagah seperti setiap wanita dambakan. dia terlihat biasa saja. sungguh biasa saja. bahkan mungkin tak ada yang sempat menilainya, dari luar.
hanya aku hampir tak pernah memandang seseorang dari celah mataku. aku terbiasa memandangi keindahan seseorang dari cerobong hatiku.
berhari-hari aku mencari arah hatiku sendiri. memendam semuanya. hanya untuk sekedar meyakinkan hatiku sendiri bahwa semuanya memang nyata ataukan hanya pantulan semu dari kekosongan yang kini kurasakan.

baiklah. malam ini, aku mau mengakui semuanya kepadamu, hei Kunang-kunang. hanya kepadamu. bukan orang lain. karna konon katanya, perasaan semacam itu bisa cepat sekali menguap bahkan saat baru saja membiarkan orang lain mengetahuinya. jadi, biarkan aku mengatakannya kepadamu saja.

"aku menyukaimu. oh, tidak. aku menyayangimu. ya. aku menyayangimu. sejak kebaikan itu kau terbitkan. sejak pandangan itu kau tautkan. aku menyayangimu."

dan perasaan itu tiba-tiba dalam sekejap benar-benar menguap. secepat setetes air yang diteteskan di atas kobaran api.

benar-benar menguap.   

Rabu, 30 Januari 2013

Sahabatku (ff)




Suasana di sebuah gedung pada malam itu terasa mewah dan temaram. Para tetamu undangan sudah lalu lalang mengambil makanan sejak dua jam yang lalu. Gelas dan piring sibuk beradu hingga menghasilkan suara nyaring. Para pria terlihat mengenakan setelan jas necis dan dasi kupu-kupu di leher. Belum lah terlihat wanitanya, yang datang dengan gaun termanisnya dan riasan wajah juga rambut yang elegan.
Tapi lihatlah, semuanya tak ada banding dengan sepasang pengantin pria dan wanita yang sedang berdiri santun menyalami para tamu, sibuk mengucapkan “terima kasih” kepada setiap “selamat menempuh hidup baru”.
Tak ada yang memperhatikan. Sungguh tak ada. ternyata sang pengantin wanita justru sedang terlihat resah menanti seseorang dalam ruangan itu. Dua jam berlalu, belum juga terlihat tanda-tanda sahabat karibnya datang. Reno. Hanya nama itu yang sedari tadi gadis itu lafalkan. Hatinya terus bertanya sepanjang acara.

***

Surat lusuh itu tergeletak begitu saja di lantai rumah sakit. Tentang kebenaran. Tentang jawaban atas pertanyaan yang terus berputar sepanjang acara pernikahan berlangsung.


Sepuluh tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk menanam sebuah cinta yang telah menampakkan benihnya sejak pertama kali bertemu. Hingga detik ini cinta itu kian tumbuh bak pohon beringin. Mengurat akar di hati dan pikiranku. Meski beringin itu tak pernah terlihat oleh siapapun kecuali pemiliknya sendiri. Meski begitu, aku tetap berusaha mencari celah untuk mengatakan tentang beringin itu kepadamu, sahabatku. Bagaimanalah mungkin aku tak pernah punya niatan untuk memberitahumu selama sepuluh tahun ini?
Tapi langit selalu punya cara untuk mengingatkan seorang pengecut sepertiku. Hingga datanglah dia, Radit yang dengan teganya merebutmu dariku. Aku tak berdaya, hingga semuanya menjadi salah di mataku. Padahal ini semua hanya bermuara pada satu permasalahan. Kepengecutanku. ………


Demi melihat kebeneran sebenderang ini, wanita itu seperti kehilangan gravitasinya. Tubuhnya seketika sempoyongan menatap tembok di sampingnya. Hingga seorang suster memanggilnya.
“Ibu Desi?”
Sebulir air tiba-tiba jatuh dari ujung matanya. Ia tahu persis siapa yang menulis surat tersebut. Ia tahu persis tulisan tangan sahabatnya yang sudah bersamanya selama sepuluh tahun lebih.
“Disini ruangannya.. saya tinggal dulu ya”
Wanita itu tak menjawab. Matanya terburu-buru menatap pemandangan menyedihkan itu.
“Hai Reno. Apa kabar? Aku kangen sama kamu.. kamu.. udah makan?” Dia mencoba menyapa lelaki yang tergeletak  lemah, meski tatapannya terasa amat kosong. Tangan dan kaki diikat di pinggir ranjang.
“Kamu tau nggak? Semenjak malam pernikahanku, aku mencarimu. Aku sebal sekali kau tak datang..” buliran air di matanya mulai menderas.
“Kamu makin kurus ya. Ah, biasanya kamu yang paling banyak makan. Kenapa disini jadi makin kurus. Payah!” sekarang wanita itu mencoba tersenyum walau getir.
“AAARRRGGHHHH..”, entah apa yang terjadi, seketika bola mata lelaki itu berputar ke arah wanita yang dicintainya, kemudian berteriak rusuh memecah kesunyian.
“AAARRRGGGHHHHH”.
Pedih rasanya melihat pemandangan yang menyesakkan ini. Wanita itu memutuskan keluar dari Rumah Sakit ini secepatnya. Rumah Sakit Jiwa yang sudah tega memenjarakkan Reno selama setahun belakangan ini…..